Wednesday, March 9, 2016

Legenda buah ceplukan


           Pada suatu hari hiduplah seorang putri yang cantik, lembut, mandiri, pekerja keras dan penyayang. Putri cantik itu biasa dipanggil dengan seutan dek cempluk atau neng cempluk. Biarpun cempluk ini seorang wanita, tapi keberanianya sungguh luar biasa. Di desa benggololah tempat cempluk hidup dan mencai nafkah. Cempluk dilahirkan untuk hidup sendiri. Rangtuanya meninggal ketika berada di hutan. Sungguh malang nsip si cemplu.


            Ketika pagi hari telah tiba, bersiaplah cempluk untuk pergi ke sawah untuk mengolah ladag warisan dari orang tuanya.
            “pagi neng cempluk” sapa mang giman.
            “mangga mang giman” cempluk menjawab dengan ramah.
            Seluruh desa hamper suka dengan kepribadian cempluk. Namun disisi lain ada seorang putri anak dari pak lurah yang suka mengejek bahkan menghina cempluk. Ketika cempluk sedang berada disawah, lewatlah putri mina didekat ladangnya cempluk.
            “hay cewek melarat, lagi ngapain? Lagi cari orong-orong ya?” celoteh putri mina kepada cempluk.
            “cari kerja neng, buat makan sehari-hari” jawab cempluk sambil menatap arah putri mina.
            “hahaha…. Dasar cewek kummel, kumelll iuhhh cuiihhhhh” kata putri mina sambil meludah.
            Untuk setiap harinya cempluk selalu dibuli, diolok-olok juga dihina seperti itu. hamper setiap hari bahkan setiap bertemu tidak memandang disitu ada siapa? Putri mina selalu menjelek-jelekan cempluk. Tapi bukan berati dengan hinaan itu cempluk patah semangat, cempluk adalah wanita yang sangat kuat dan juga tangguh. Siap menghadapi cobaan yang ada.
            Suatu hari, ketika berada di lading tiba-tiba cempluk dikagetkan seorang pria yang tampan dan mungkin asing bagi cempluk berada di depannya cempluk tepat dilereng ladangnya cempluk.
            “neng mau Tanya neng. Rumahnya pak madin mana ya neng? Tanya seorang pria itu kepada cempuk.
            “oalah rumahnya pak madin ya?? Jawab cempluk sambil mengusap keringat dikeningnya.
            “iya neng.. neng tau sebelah mana ya? Saya keponakannya?” jawab pria itu dengan senyum kepanasan
            “tetangga saya kang. Mari saya antar saya juga mau pulang sudah siang saya haus” kata cempluk sambil melangkah menuju tepi lading. “mari kang ikut saya”
            Mereka berduapun berjalan bersama-sama menuju rumahnya pak madin. Tiba-tiba tampk dari kejauhan ada putri mina yang terlihat dengan wajah marahnya menghampiri cempluk.
            “plakk” tamparan dari putri mina.
Cempluk terdiam dan berkata
            “ada apa lagi putri?”
            “hey.. kamu siapa? Berani-beraninya nampar cempluk. Memang dia punya salah apa?” pria itu menjawab dengan tegas.
            “ganteng.. dia itu wanita melarat kamu gak pantes sama dia?”
Mang deden yang tau kejadian itu meletakkan pikulan sayurannya dan langsung menghampiri putri mina dan cempluk.
            “putri mina, kau ini memang kaya, cantik. Tapi apa hak kamu untuk menyakiti neng cempluk. Kamu ini memang wanita tak tau diri. Dasar pengecut” mang deden berkata dengan nada marahnya.
            “hey pak curut diem kamu, dasar curut”
            Perseteruan itu kemudian berakir saat si cempluk mengalah untuk tidak menanggapi hal tersebut. Mungkin sie putri mina iri dengan cempluk karena cempluk berjalan dengan cowok gagah perkasa juga tampan.
            Hari demi hari telah berlalu, hingga suatu hari pria tampan keponakan dari mang madin mengatakan bahwa ingin ikut dengan cempluk ke ladang.
            “neng cempluk” panggil pria itu dari rumah mang madin
            “iya kang” cempluk menjawab sambil menoleh kea rah pria itu.
            “aku ikut donk boleh kan. Boleh lah” kata pria itu sambil memohon.
            “boleh mangga” jawab cempluk dengan senyum khasnya.
            Mereka berdua berjalan menuju ladang berdua. Ditengah perjalanan pria itu bertanya tentang sesuatu.
            “neng cempluk. Kenapa sih kamu harus diam ketika si nenek lampir itu menghina kamu?” Tanya pria itu dengan penasaran.
Cempluk menatap pria itu sambil tersenyum dan berkata
            “kenapa harus marah, saya gak bakal marah ataupun kecewa selagi tidak menjelek-jelekkan emak dan abah saya,, yang sekarang sudah tenang di alam sana”
            Pria itu semakin penasaran dengan cempluk dan juga kepribadian cempluk. Jadi tak heran jika pria itu menjadi teman dekatnya cempluk.
            Suatu hari, ketika matahari sudah mulai tenggelam dan badan cempluk sudah mulai lelah cempluk pun pulang kerumah bersama pria itu, teman dekatnya. Ketika diperjalanan cempluk bertemu dengan putri mina. Hinaanpun muncul dengan pedasnya namun 1 yang membuat hati cempluk marah dan kecewa puti nina mengina orang tua cempluk.
            “dasar cewek haram, kenapa kamu masih mendekati pria itu. kenapa?? Kamu itu udah gak punya apa-apa, udah gak punya abah gak punya emak aja sok belagak. Eling donk emak dan abah kamu meninggal karena apa? DIMAKAN BUAYA!!!!!”
            Ketika putri  mina berkata seperti itu, tiba-tiba petir dan gemuruhpun datang. Petir menyala nyala dengan sendirinya.
            “putri.. aku telah bersabar selama ini. Apa kamu gak puas menghina saya. Saya dengan nano pria ini gak ada apa apa? hanya berteman. Kalo memang kam tak suka dengan saya, bilang. Bilang ke saya dan jangan pernah menyangkut keluarga saya khususnya emak dan abah saya. Saya bersumpah siapa dia yang menyakiti emak abahku yang sekarang di alam sana, akanku jadikan dia siapa pohon”
            Ketika cempluk mengatakan sumpahnya allah langsung mengubah putri mina menjadi pohon. Sumpah itu diiringi dengan gemuruh dan petir yang hebat. Semua yang menyaksikan itu kaget melihat fenomena seperti itu.
            Setelah putri mina mejadi pohon, berubahlah suasana menjadi terang seperti layaknya hari sore, petang tiba. Semua warga mendekat kepada cempluk.
            “neng.. ini neng mina kah?” Tanya mang deden
            “iya mang ini putri mina, saya namakan pohon ini pohon cemplukan. Yang saya ambil dari nama saya sendiri?, agar neng mina sadar dengan apa yang dia perbuat saat ini”.
            Akhirnya desa itu tertram dengan sendirinya, setiap hari warga dari desa itu saling sapa tidak saling mengina. Semuanya hidup rukun dan juga damai.



 

                                                                       THE END

Oleh : Arik Rahmatul R
                                                          

No comments:

Post a Comment